Jumat, 22 Agustus 2014

Soft Book Hewan Ternak

         Hai semua.. Masih terinspirasi dari buku diatas karya Mbak Dian Kusuma Wardhani, saya mencoba membuat soft book ini. Mainan oh mainan, saking buanyaknya pilihan mainan di toko kadang orang tua sampai sering kesal kalo si kecil minta dibeliin mainan baru. Padahal baru beli mainan seminggu lalu. Gatau deh, gampang banget tertarik ama mainan.
           Selain beli, membuatkan sendiri mainan untuk anak juga nggak ada salahnya lho Bu. Mereka pasti akan senang. Membuat mainan sendiri gampang-gampang susah, tergantung kesungguhan untuk membuatnya juga tingkat kerumitan mainan yang akan dibuat. Seperti mainan yang satu ini bikinnya gampang, namun perlu ketelatenan untuk menjahit semua detailnya.
         Soft book atau buku kain lumayan ngetren akhir-akhir ini. Harga di pasaran lumayan tinggi Bu. Padahal cuma beberapa halaman saja lho nggak sampai berpuluh-puluh harganya udah puluhan ribu. Membuat soft book sendiri selain lebih hemat ibu juga bisa membuatnya sesuai kreasi yang diinginkan.
halaman 1

halaman 2 dan 3 : domba dan sapi
halaman 4 dan 5 : ayam dan kelinci
Lumayan ya, selamat berkarya ^^

Happy First Anniversary My Blog


Setahun ini : 65 postingan dan dilihat sebanyak 6527 kali, alhamdulilllah. Semoga bermanfaat. Makasih ya pembaca sekalian udah mau lihat-lihat handmade-handmade buatan saya, baca curhatan-curhatan, juga artikel-artikel yang saya tulis. Maafkan kalau ada yang tak berkenan.

           Ngeblog itu seru! Selain facebook dan twitter, saya suka bersosmed disini. Bisa nulis lebih panjang dan banyak gambarnya. Melalui blog saya bisa tahu kalo ada jutaan orang inspiratif diluar sana. Ada yang karya-karya handmadenya istimewa, ada yang artikel-artikelnya super keren, ada yang curhatan-curhatannya bikin ketawa, dan juga ada tulisan mengenai perjalanan hidup yang menarik.
Tulisan di blog nggak gampang hilang seperti status facebook atau kicauan di twitter yang cepat tertimbun postingan lain. Gampang juga kalau mau cari-cari postingan lama atau mencari postingan berdasarkan kategori yang kita inginkan. Tapi, yah, kadang blog jarang diminati buat yang ingin kepraktisan dan kurang suka membaca tulisan panjang. Selera lah ya. Anyway, makasih blog udah membersamai,

Happy 1st anniversary ya
Makin cantik, makin kreatif, n makin inspiratif
Aamin
                Oh ya, bikin sendiri nih kuenya. Nggak lembut-lembut banget sih, tapi rasanya enak ^^ Berikut ini resepnya :

Bahan :
5 butir telur
100 gram gula pasir
1 sendok teh ovalet/sp
Vanili bubuk secukupnya
½ buah jeruk lemon diperas airnya, kulitnya diparut
100 gram margarin dicairkan
80 gram tepung terigu
20 gram susu bubuk

Cara membuat :
1.       Campur telur, gula pasir, ovalet, vanili, dan air perasan jeruk lemon, mixer selama 10 menit sampai mengembang.
2.       Matikan mixer, masukkan tepung terigu, susu bubuk, dan parutan kulit lemon, aduk menggunakan pengaduk plastik sampai tercampur rata.
3.       Tambahkan margarin cair, aduk lagi sampai rata.
4.       Tuang pada loyang yang dioles margarin.
5.       Oven sampai matang, sekitar 20 menit.
Voila, udah jadi lemon cakenya :)))
Selamat mencoba!!!

happy blogging semua ^^
dan saya belum tahu caranya saling berkawan disini..

Kamis, 21 Agustus 2014

Boneka Flanel May be Yes

     Assalamualaikum wr.wb. Halo teman-teman semua. Selamat melewatkan Bulan Agustus yang penuh nuansa perjuangan. Selamat menikmati kemeriahan karnaval dan lomba-lomba ala agustusan yang seru ^^. Pada kesempatan kali ini saya mau posting boneka may be yes yang ternyata belum terposting disini. He2, boneka-boneka ini hadiah buat teman-teman saya yang diwisuda pada periode Mei 2014. Dalam waktu 3 hari (ga penuh, cuma pas sore sampe malem aja) saya berhasil membuat 12 buah boneka. Jadi pengerjaannya nggak ribet-ribet banget. Selain ukurannya kecil, simpel juga, tapi tetap lucu dan menarik. 
     Walaaa ini dia boneka-bonekanya :
keluarga boneka may be yes
chichi, sasa, baba, kelin, kukud
bera blu, kaka, baba
bera brown, kelin, miong
kukud, deri, hipo
     Ayo-ayo bikin juga kawan..:-) selamat berkarya

Minggu, 03 Agustus 2014

Muslimah, wajahmu kini...


Dulu saat masih SMA, terkenallah sebuah sosial media bernama friendster. Tak lama setelahnya ia ditinggalkan karena booming sosmed baru yang bernama facebook. Dua tahun kemudian para facebooker banyak menduakan sosmed yang dulu sering jadi diary terbukanya itu dengan diva baru yang tersohor dengan nama twitter. Belum lama berakrab dengan twitter sudah ada mainan baru bernama watssapp, line, path, instagram dan puluhan sosmed lainnya. Rasanya jadi lelah sendiri mengikutinya. Dalih iming-imingnya biar nggak ketinggalan info, bisa meeting online, jualan on line, dan bla bla bla.
            Hello, tak bisakah menjadi orang yang setia? Bisa, namun untuk urusan perkembangan teknologi barangkali setia bukanlah tindakan yang tepat kalo gak mau dibilang ketinggalan zaman. Dalam pesatnya perkembangan teknologi itu, perubahan perangkat-perangkat penunjang kebutuhan hidup menjadi hal yang lumrah. Namun yang menjadi masalah adalah untuk apa ada perubahan bila lebih buruk dari sebelumnya.
            Sebutlah ia, “muslimah”. Perkembangan teknologi dan zaman membuatnya berubah. Atas nama hak asasi manusia, tak mau dibilang kuno, juga mungkin atas nama iman, muslimah kini tak sama dengan yang dulu. Dulu ketika saya masih SMA atau awal masuk kuliah, jilbab tak semenjamur seperti saat ini. Bahkan lebih dulu lagi memakai jilbab mesti dilakukan dengan penuh perjuangan. Tak ada instansi yang mengizinkan sekolah, kuliah, kerja memakai jilbab. Hanya yang memiliki keteguhan hati saja yang mempertahankan jilbabnya sampai mati-matian. Sekarang malah di banyak tempat bisa dihitung jari berapa jumlah muslimah yang tidak berjilbab. Termasuk keberhasilan dakwahkah fenomena ini? semoga saja..
Tapi.. Mungkin teman-teman juga turut merasakan adanya perubahan besar lain dalam muslimah kini yang cukup mengusik. Entah benar atau tidak saya merasa muslimah kini menjadi obyek yang sangat menjanjikan bagi pelaku-pelaku bisnis dan orang-orang berkepentingan tertentu (zionis, red).
Jilbab kini mengalami pergeseran istilah. Kekinian lebih mengenal jilbab dengan sebutan hijab. Mungkin maksud trendsetternya agar lebih enak didengar (terdengar modern). Jadi istilah hijab digunakan pada model jilbab masa kini. Para muslimah pengguna hijab dikenal dengan sebutan hijabers. Padahal setahu saya istilah hijab adalah kain atau benda pembatas yang memisahkan laki-laki dan perempuan dalam suatu pertemuan syuro/rapat.
Akun sosial media instagram menjadi salah satu bukti nyata perubahan wajah muslimah Indonesia kini. Dulu sebelum sosial media berkembang pesat, tak ada muslimah yang mau memamerkan foto-foto dirinya pada khalayak umum. Kini, ribuan akun selebriti instagram (selebgram) muslimah justru memenuhi jagat perduniamayaan dan cukup untuk membuat mulut kita menganga tanpa sengaja (entah kagum, entah tak percaya).
 Muslimah-muslimah selebgram itu nampak lebih sosialita daripada perempuan yang tidak berjilbab. Kental sekali nuansa glamour dan budaya konsumtifnya. Ratusan bahkan ribuan foto pribadi dengan berbagai gaya harus ditunjang dengan fashion-fashion terbaru yang mahal dan branded. Entah itu hijab, gamis, celana model aladin, baju model kelelawar, aksesoris, make up, high hells yang dipakai semuanya mewah. Sayangnya, dengan menitik beratkan kata kreasi, kreativitas, dan trendy justru tak sedikit yang terlihat tak nyaman dipakai, tidak syar’i, berlebihan, aneh, dan NORAK!
Ditambah lagi kontes pencarian putri muslimah kini juga semakin marak diselenggarakan. Setelah ditelusuri lebih dalam ternyata para peserta umumnya punya bakat yang sama, MODELING! Konten acaranya juga mirip dengan pemilihan putri/miss Indonesia pada umumnya. Acaranya juga tak lepas dari fashion show lenggak lenggok di catwalk, lalu menjawab pertanyaan dari juri. Apabila ditanya apa yang akan dilakukan untuk perkembangan dunia islam di Indonesia umumnya peserta menjawab akan mengembangkan sekolah model muslimah, jadi desainer baju muslimah, membumingkan hijab modern biar banyak yang tertarik, dan berbagai jawaban yang tak jauh dari fashion! Lhoh? Jadi kenapa acaranya nggak diganti aja jadi pemilihan putri model fashion muslimah? Lebih pas kan, lha cuma satu atau dua orang saja yang menjawab mau menggerakkan program one day one juz, atau membumingkan sedekah pangkal kaya, atau bikin dakwah kreatif lainnya.
Muslimah wajahmu kini norak (menurut saya, red). Pakai hijab dengan riasan ala kartun Disney dibilang unyu dan kreatif. Ya memang sih unyu dan kreatif, sampai-sampai saya nggak bisa bedain mana yang princess kartun mana yang manusia. Tapiii, pliss hijab model begitu sebutlah saja dengan kostum costplay. Jangan sebut hijab islami.
Muslimah wajahmu kini aneh (menurut saya, red). Unik dan eksentrik katanya, hijabnya pakai ciput ninja terus ditambah topi penutup buesaaar seperti bentuk pesawat UFO. Itu kenapa nggak sekalian pakai sorban aja?  
Muslimah wajahmu kini berlebihan seperti toko berjalan (menurut saya, red). Keren katanya, ngupload foto pakai aksesories mahal, tas mahal, sepatu mahal, gamis mahal, make up mahal. Berarti infaq dan shadaqahnya sebanding lah ya!

 Muslimah, wajahmu kini bertebaran dimana-mana. Saya sendiri juga sering banget gatel pengen upload foto pribadi yang cetho welo-welo. Entah lagi pamer kreasi handcraft, atau lagi bersama temen-temen di event-event tertentu. Semua keinginan itu hanya mampu ditahan dengan iman. Biarkan ia untuk kelak yang berhak menikmatinya, suamimu seorang.
Sediiih, saat sampai harus ada seorang non muslim yang mengingatkan. Suatu waktu saya baca tulisan seorang Katholik di sebuah situs. Ia pun turut memperhatikan perubahan tren fashion hijab. Suatu ketika ia pernah melihat seorang muslimah berhijab namun ia justru merasa hijab yang dipakai muslimah tersebut seperti sarang lebah. Menurutnya hijab bagi muslimah sama seperti simbol salib pada agamanya. Bisa saja suatu saat simbol salib juga dimodifikasi menjadi kalung, gelang, cincin, atau baju yang dimacem-macemin dan ngetrend. Dan ia tak rela bila itu benar-benar terjadi. Oh astaga, perempuan Katholik saja tak rela bila simbol salib mereka dipakai buat gaya-gayaan. Bagaimana mungkin kita muslimah berlomba-lomba memperlakukan simbol jilbab demi terlihat modis, mewah, dan sosialita?
Lantas, tak bolehkah kita mengikuti perkembangan fashion? Tentu boleh, asalkan kita punya filter untuk membedakan mana yang layak diikuti mana yang tidak. Mana yang cocok untuk kita pakai mana yang tidak. Selain itu kita juga perlu sadar waktu, tempat, dan keadaan. Dan yang terpenting tahu mana yang disukai Allah mana yang tidak. Bakalan capek banget kalau jadi korban mode yang nggak ada habisnya. Yang dari waktu ke waktu terus ada yang baru. Hanya berhijab karna Allah yang tak lekang oleh waktu dan nggak bikin capek.

Tak ada yang melarang jilbabmu modis. Tapi yang jelas Allah meminta jilbabmu sederhana, menutup kepala dan dada dengan kain yang tidak tipis menerawang. Pun juga dengan pakaian, tentu Allah tak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Perintah Allah jugalah yang meminta agar pakaian kita tidak ketat. Untungnya buat kita sendiri kok, supaya jaringan kulit kita bisa bernapas sehingga terjaga kesehatan kita.
Ukh, ingin terlihat cantik? Kita ini udah cantik. Cuantik malah. Kau tahu apa yang bisa membuat semakin cantik dan apa yang membuat semakin jelek? Ketaatan membuatmu semakin cantik sedangkan kemaksiatan membuatmu nampak jelek. =)
Astaghfirullah, saya sendiri juga sangat jauh dari sempurna. Masih tertatih-tatih dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Sangat tak layak menyandang gelar sebagai muslimah sejati. Saya bukan haters, saya pun juga terlibat dalam perkembangan fashion hijab. Saya hanya ingin menyampaikan kegelisahan ini ukh. Tulisan diatas murni pendapat saya, boleh sepakat boleh tidak.
However, saya mencintaimu karena Allah :*

Jumat, 18 Juli 2014

Kaus Kaki, Mahalnya Dirimu!


        

        Hatiku gamang melihat tumpukan kaus kaki di lemari paling bawah. Kuhentikan aktivitasku yang sedang merapikan tumpukan pakaian di lemari yang berantakan. Aku terduduk, diam, dan pikiranku tiba-tiba menyorot lemari plastik bongkar pasang yang dibelikan ibu selama aku kos di Jogja.
Di lemari plastik itu, aku juga menyimpan kaus kaki di bagian bawah. Koleksi kaus kakiku banyak. Cukup sering aku membeli kaus kaki murah meriah ala pasar Sunday morning di kampusku. Meski punya banyak, tetap saja aku sering kehabisan stok kaus kaki bersih terutama saat musim hujan. Cepat saja isi lemari bagian bawah berkurang berpindah ke tumpukan pakaian kotor meminta dicuci.
            Kaus kaki punya cerita. Selama kuliah, kaus kaki adalah kostum wajib selama meninggalkan kos. Eh, tapi tak serta merta begitu. Ada prosesnya sehingga bisa demikian. Mana mungkin aku mau beribet-ribet ria dengan kaus kaki jika aku tak punya alasan untuk wajib pakai saat diluar. Gak gampang deh usaha kakak-kakak angkatan shalih shalihat yang membimbingku untuk terus pakai kaus kaki. Bahkan di semester awal, aku sempet sewot sama mbak-mbak yang memperjuangkan agar kakinya terus tertutup meski saat itu tak ada laki-laki, medan berlumpur, banjir, dll. Bahasanya si embak militan banget lah, hehe.
            My beloved m*r*b* gak henti-hentinya ngasih contoh. Seiring berjalannya waktu jadilah aku yang tampil berkaus kaki seperti beliau (he2, tapi style kerudung, baju, dan rok aku tetap menjadi diri sendiri). Tak ada materi liqa khusus membahas tentang kewajiban memakai kaus kaki, tapi entah kenapa pemahaman itu muncul sendiri dan tak bisa kujelaskan. Frontal mungkin, bila aku harus mengatakan pada khalayak umum, “kaki termasuk aurat, yang bukan aurat hanya muka n telapak tangan kak/dek”.
            Alamak, pernah kukatakan hal itu pada bapakku. Aku ditolak mentah-mentah. Beliau bilang “nek ning Arab kono yo cocok nduk, tapi nek ning kene opo wong-wong sing ning sawah kae yo mbok kongkon kaos kakian” (kalau di Arab sana ya cocok nak, tapi kalau di sini apa orang-orang yang bekerja di sawah sana juga kamu suruh pakai kaus kaki). Hmm, yasudahlah aku tak mendebatnya.
 Tapi aku tetap memakainya. Walaupun hanya keluar sebentar untuk membeli sesuatu di warung dekat kos, kaus kaki tak pernah absen kupakai. Enteng saja, karena teman-temanku banyak yang juga begitu. Meski demikian aku memakainya bukan karena ikut-ikutan, tapi aku merasa harus begitu, risih kalau kakinya tak terbungkus. Disisi lain, dengan memakai kaus kaki ternyata aku merasa nyaman. Aku tak perlu mikirin “oh kakinya dia lebih cantik dari kakiku” atau “yes, kakiku lebih cantik daripada kakinya” Haha, kalau ketutup kan gak bisa dibanding-bandingin, weeeeek :p
Allah setiap memberi aturan pasti ada manfaatnya. Aku sangat merasakan manfaat menggunakan kaus kaki. Tak hanya terlindung dari sinar ultraviolet tapi juga membuatnya lebih bersih, lebih cerah, tidak masuk angin kalau di perjalanan, lebih aman dari knalpot, kulit tidak belang, kulit tidak kering, dan masih banyak manfaat lain.
            Sekarang kembali ke kegamangan hatiku tadi, hal ini sudah kuceritakan pada sahabatku di kos saat aku berkunjung ke Jogja bulan lalu. Entah kenapa, memakai kaus kaki di Jogja sangat enteng, tapi dirumah sangat sulit. Ke pasar menggunakan kaus kaki terlihat aneh. Padahal di Jogja memakai kaus kaki ketika ke pasar sudah biasa. Sedangkan disini aku merasa sejuta mata akan memperhatikan kaus kakiku. Duuuh kenapa sih. Kadang pula aku terbawa malas, ah hanya pergi sebentar. Aku tak memakainya. Kini aku jarang mencuci kaus kaki. Ya, kaus kaki mana yang kotor?
            Hingga beberapa waktu lalu di suatu malam, aku sedang dalam perjalanan pulang naik motor dari rumah saudara yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Kaus kaki kutanggalkan (untuk kesekian kalinya). Saat melewati jalan sekitar sawah yang tidak cukup terang, motorku terpeleset demi menghindari anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam *halah. Hiks, seandainya tadi pakai kaus kaki kan lukanya nggak gini-gini bangeeet :-( Yah, barangkali ini peringatan,, dariNya.
Oh kaus kaki, betapa mahalnya dirimu sekarang. Aku sudah tahu aturannya, sudah tahu pula manfaat dan kepentingannya. Tapi, apa yang membuat diri ini susah beristiqomah? Harusnya lingkungan bukan alasan. Harusnya hal-hal baik yang bisa dilakukan selama di Jogja juga bisa dilakukan dirumah atau dimanapun nanti aku akan tinggal. Dan mulai detik ini aku sadar : welcome to the jungle!

Sabtu, 21 Juni 2014

Pancake Pandan dengan Saus Karamel Susu



Buat makanan apa ya untuk sarapan? Atau untuk bekal sekolah anak? Hmmm.. Pancake pandan buatnya gampang dan cepat. Yuk yuk dicoba ^^
 Bahan :
3 sendok makan tepung terigu
1 sendok makan susu bubuk
1 sendok makan gula pasir
1 butir telur
50 g margarin dilelehkan
70 ml air
Pasta pandan secukupnya
Saus karamel :
3 sendok makan gula
2 sendok makan margarin
250 ml susu cair

Cara membuat :
1.       Campur tepung terigu, gula, susu bubuk, dan air.
2.       Tambahkan telur aduk rata.
3.       Tambahkan margarin, campur lagi.
4.       Lalu, tambahkan pasta pandan sampai adonan berwarna hijau.
5.       Tuang 3 sendok makan adonan pada wajan anti lengket matangkan. Lakukan sampai adonan habis.
6.       Saus karamel : Panaskan gula, margarine, dan susu cair sampai airnya berkurang dan berwarna kecoklatan.
 
7.       Sajikan pancake dengan saus karamel, hias dengan stroberi.
 
Voila, yummy pancake ready to eat! Happy cooking all!