Jumat, 18 Juli 2014

Kaus Kaki, Mahalnya Dirimu!


        

        Hatiku gamang melihat tumpukan kaus kaki di lemari paling bawah. Kuhentikan aktivitasku yang sedang merapikan tumpukan pakaian di lemari yang berantakan. Aku terduduk, diam, dan pikiranku tiba-tiba menyorot lemari plastik bongkar pasang yang dibelikan ibu selama aku kos di Jogja.
Di lemari plastik itu, aku juga menyimpan kaus kaki di bagian bawah. Koleksi kaus kakiku banyak. Cukup sering aku membeli kaus kaki murah meriah ala pasar Sunday morning di kampusku. Meski punya banyak, tetap saja aku sering kehabisan stok kaus kaki bersih terutama saat musim hujan. Cepat saja isi lemari bagian bawah berkurang berpindah ke tumpukan pakaian kotor meminta dicuci.
            Kaus kaki punya cerita. Selama kuliah, kaus kaki adalah kostum wajib selama meninggalkan kos. Eh, tapi tak serta merta begitu. Ada prosesnya sehingga bisa demikian. Mana mungkin aku mau beribet-ribet ria dengan kaus kaki jika aku tak punya alasan untuk wajib pakai saat diluar. Gak gampang deh usaha kakak-kakak angkatan shalih shalihat yang membimbingku untuk terus pakai kaus kaki. Bahkan di semester awal, aku sempet sewot sama mbak-mbak yang memperjuangkan agar kakinya terus tertutup meski saat itu tak ada laki-laki, medan berlumpur, banjir, dll. Bahasanya si embak militan banget lah, hehe.
            My beloved m*r*b* gak henti-hentinya ngasih contoh. Seiring berjalannya waktu jadilah aku yang tampil berkaus kaki seperti beliau (he2, tapi style kerudung, baju, dan rok aku tetap menjadi diri sendiri). Tak ada materi liqa khusus membahas tentang kewajiban memakai kaus kaki, tapi entah kenapa pemahaman itu muncul sendiri dan tak bisa kujelaskan. Frontal mungkin, bila aku harus mengatakan pada khalayak umum, “kaki termasuk aurat, yang bukan aurat hanya muka n telapak tangan kak/dek”.
            Alamak, pernah kukatakan hal itu pada bapakku. Aku ditolak mentah-mentah. Beliau bilang “nek ning Arab kono yo cocok nduk, tapi nek ning kene opo wong-wong sing ning sawah kae yo mbok kongkon kaos kakian” (kalau di Arab sana ya cocok nak, tapi kalau di sini apa orang-orang yang bekerja di sawah sana juga kamu suruh pakai kaus kaki). Hmm, yasudahlah aku tak mendebatnya.
 Tapi aku tetap memakainya. Walaupun hanya keluar sebentar untuk membeli sesuatu di warung dekat kos, kaus kaki tak pernah absen kupakai. Enteng saja, karena teman-temanku banyak yang juga begitu. Meski demikian aku memakainya bukan karena ikut-ikutan, tapi aku merasa harus begitu, risih kalau kakinya tak terbungkus. Disisi lain, dengan memakai kaus kaki ternyata aku merasa nyaman. Aku tak perlu mikirin “oh kakinya dia lebih cantik dari kakiku” atau “yes, kakiku lebih cantik daripada kakinya” Haha, kalau ketutup kan gak bisa dibanding-bandingin, weeeeek :p
Allah setiap memberi aturan pasti ada manfaatnya. Aku sangat merasakan manfaat menggunakan kaus kaki. Tak hanya terlindung dari sinar ultraviolet tapi juga membuatnya lebih bersih, lebih cerah, tidak masuk angin kalau di perjalanan, lebih aman dari knalpot, kulit tidak belang, kulit tidak kering, dan masih banyak manfaat lain.
            Sekarang kembali ke kegamangan hatiku tadi, hal ini sudah kuceritakan pada sahabatku di kos saat aku berkunjung ke Jogja bulan lalu. Entah kenapa, memakai kaus kaki di Jogja sangat enteng, tapi dirumah sangat sulit. Ke pasar menggunakan kaus kaki terlihat aneh. Padahal di Jogja memakai kaus kaki ketika ke pasar sudah biasa. Sedangkan disini aku merasa sejuta mata akan memperhatikan kaus kakiku. Duuuh kenapa sih. Kadang pula aku terbawa malas, ah hanya pergi sebentar. Aku tak memakainya. Kini aku jarang mencuci kaus kaki. Ya, kaus kaki mana yang kotor?
            Hingga beberapa waktu lalu di suatu malam, aku sedang dalam perjalanan pulang naik motor dari rumah saudara yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Kaus kaki kutanggalkan (untuk kesekian kalinya). Saat melewati jalan sekitar sawah yang tidak cukup terang, motorku terpeleset demi menghindari anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam *halah. Hiks, seandainya tadi pakai kaus kaki kan lukanya nggak gini-gini bangeeet :-( Yah, barangkali ini peringatan,, dariNya.
Oh kaus kaki, betapa mahalnya dirimu sekarang. Aku sudah tahu aturannya, sudah tahu pula manfaat dan kepentingannya. Tapi, apa yang membuat diri ini susah beristiqomah? Harusnya lingkungan bukan alasan. Harusnya hal-hal baik yang bisa dilakukan selama di Jogja juga bisa dilakukan dirumah atau dimanapun nanti aku akan tinggal. Dan mulai detik ini aku sadar : welcome to the jungle!