Kultum dhuhur Prof.
Zuprizal, DEA Senin, 23 Februari 2015
“apakah kamu tidak
berpikir?”*1)
Pernah sakit? Pasti pernah.
Ingin sakit? Pasti tidak.
Apa yang diinginkan ketika sakit?
Of course, sembuh!
-----------
Beberapa waktu
yang lalu ada hal menarik yang disampaikan oleh dosen saya. Tentang sakit,
sesuatu yang tak asing dan kerap dialami oleh manusia. Sakit memang tak pernah
diharapkan kehadirannya. Sakit membuat kita harus total berhenti dari
rutinitas, menjadi lemah tak berdaya, tak enak dirasakan, dan tak jarang
menguras pundi-pundi rupiah yang telah kita kumpulkan. Entah flu, demam, batuk,
atau penyakit apapun, ia mesti menuntut untuk diperhatikan. Jika tidak ia akan
semakin menjadi-jadi, tak mau pergi walaupun udah diusir cantik dengan gaya ala
mbak Syahrini, hus hus sana!
Sebagian
teman-teman pasti sudah tahu kalau sakit bisa menggugurkan dosa. Saya juga
sudah pernah mendengar tentang hal itu. Bahwa dosa-dosa kecil bisa dihapuskan
dengan sakit. Lumayan, kadang kita nggak sadar atau meremehkan. Padahal
dosa-dosa kecil kalau diakumulasikan juga bisa jadi sebukit atau berbukit-bukit.
Makanya kadang orang bilang, “Alhamdulillah, sakit, semoga Allah hapuskan
dosamu”.
Saya hanya tau
tentang itu sih. Tapi ternyata, kalau kita sedang sakit maka Allah tugaskan
empat malaikat. Wah EMPAT! Ngapain ya? Yang pertama adalah malaikat yang
membuat lemas tubuh. Yang kedua adalah malaikat yang memucatkan wajah. Keduanya
hampir sama tugasnya, tapi subhanallah Allah buat sangat spesifik. Malaikat
yang ketiga bertugas menghilangkan hawa nafsu. Yap benar kalau sakit nggak
pernah pengen yang macam-macam. Makan nggak enak, tidur nggak enak, apa-apa
nggak enak. Dan yang keempat Allah tugaskan malaikat yang menggugurkan
dosa-dosa.
Saat kondisi
manusia yang sakit telah membaik, malaikat pertama, kedua, dan ketiga
mengembalikan keadaan manusia seperti ketika ia sehat. Tubuh tak lagi lemas,
wajah tak lagi pucat, dan hawa nafsunya kembali ada. Makan sudah enakan, tidur
sudah nyaman, dan mungkin pula kembali ingin menguasai dunia. Setelah tugas
ketiga malaikat tersebut selesai maka mereka kembali kepada Allah untuk tugas
yang lainnya. Hehe, begitu ya kerjaan malaikat.
Terus malaikat
yang keempat gimana tuh? Malaikat penggugur dosa akan tetap tinggal untuk
melaksanakan tugasnya. Wah baik sekali ya Allah? Tentu, malaikat penggugur dosa
tak akan pergi selagi si sakit selalu menetapi istighfar, kesabaran, dan rasa
syukur atas pemberian Allah. Malaikat itu tetap ada untuk menggugurkan dosa-dosanya. Super duper baik
kan Allah. Yang nggak enak-enak dihilangkan, dosanya dihapus lagi.
Oleh karena
itu kita harus bersyukur apabila diberi sakit. Karena saat itulah kita bias
merenung, introspeksi diri dan berkontemplasi. Mungkin kita bekerja terlalu
keras mengejar dunia, tidak menjaga jasmani dengan baik, lupa istirahat, atau
merasa baik-baik saja tanpa merasa berat akan dosa-dosa yang pernah kita
lakukan.
Oh iya, saat
sakit kita juga diuji seberapa besar ketergantungan dan kepercayaan kita kepada
Allah. Maksudnya percaya bahwa tidak ada yang bisa menyembuhkan atau mematikan
selain karena kekuasaan Allah. Bahkan dalam hal ini Allah contohkan ujiannya kepada Nabi Ibrahim.
Ketika itu Nabi Ibrahim diberi sakit oleh Allah. Lalu Nabi Ibrahim berdoa agar
diberi petunjuk oleh Allah cara menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Allah
kabulkan doa Nabi Ibrahim dan Allah tunjukkan obat yang bisa menyembuhkan
(tanaman obat). Sesuai dengan petunjuk Allah Nabi Ibrahim membuat ramuan
obatnya dan sembuh.
Suatu ketika,
Nabi Ibrahim sakit lagi (sakit yang sama). Merasa sudah tau cara mengobatinya,
Nabi Ibrahim segera membuat ramuan obat dan meminumnya. Ternyata obat itu tak
membuat sembuh. Allah berikan teguran kepada Nabi Ibrahim akan hal tersebut.
Yang menyembuhkan bukan obat, bukan dokter, bukan tabib, tapi sepenuhnya Allah
yang menyembuhkan.
Nah begitulah
sisi lain tentang sakit yang dijelaskan oleh Prof. Zuprizal. “Apakah kamu tidak
berfikir?”
*1) apakah kamu tidak
berfikir : pesan yang selalu disampaikan Pak. Zup ketika memberi kuliah.
Maknanya sangat dalam, mengena, bikin melek, dan “o iya ya”.